Pasca dilantik sebagai presiden oktober 2019 lalu, presiden Joko Widodo mencanangkan visi pemerintahnya untuk lima tahun ke depan, yakni menghasilkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul. Bukan tanpa dasar visi ini dicanangkan. Boleh jadi ini karena kompetisi dunia makin sengit sehingga bangsa yang unggul dalam berbagai sektor pembangunan, dialah yang akan keluar sebagai pemenangnya. Kuncinya itu terletak pada SDM yang unggul. Perubahan di dunia industri, teknologi dan budaya semakin cepat dan tidak bisa diprediksi. Hal-hal yang tadinya simpel menjadi tidak simpel. SDM yang unggul diharapkan mampu menghadapi tantangan perubahan tersebut. Dalam konteks ini, perguruan tinggi diminta beradaptasi dengan kondisi kekinian yang serba cepat perubahannya. Intinya, bagaimana perguruan tinggi dapat menghasilkan SDM unggul. Setidaknya untuk lima tahun ke depan Indonesia memiliki calon-calon pemimpin masa depan bangsa yang berkualitas dalam berbagai bidang pembangunan. Para calon pemimpin bangsa itu adalah mahasiswa yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tridharma perguruan tinggi itu penting tetapi untuk merealisasikan visi pemerintah lima tahun ke depan patut dipertanyakan apa yang bisa dilakukan mahasiswa setelah keluar dari perguruan tinggi, sesukses apa mahasiswa tersebut dan seperti apa karakternya. Jika berkaca dari pemikiran ini, langkah yang bisa diambil adalah melakukan proses pembinaan, pembelajaran dan pencetakan karakter mahasiswa di dalam perguruan tinggi. Seiring dengan itu, semua keputusan yang dibuat baik untuk kegiatan dosen, mahasiswa, anggaran maupun keputusan kelembagaan hendaknya didetailkan dampaknya terhadap mahasiswa. Jadi prioritas perguruan tinggi saat ini adalah mencetak calon-calon pemimpin bangsa Indonesia melalui program SDM unggul.
Kini, perguruan tinggi memasuki era ketika gelar tidak menjamin kompetensi, kelulusan tidak menjamin berkarya dan bekerja dan mahasiswa masuk kelas tidak menjamin belajar. Ini adalah fakta lapangan yang seyogyanya disadari dan diakui. Kalau fakta ini tidak diungkapkan secara terbuka, rasanya sulit untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Bertolak dari fakta ini, kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dimotori oleh Nadiem Makarim, mencoba menafsirkan visi presiden dengan menghadirkan program merdeka belajar dan guru penggerak. Guru di sini bisa dikategorikan juga dosen penggerak. Jadi sama saja, dosen juga guru. Kemerdekaan belajar artinya kemerdekaan jenjang di setiap unit pendidikan. Perguruan tinggi memasuki paradigma baru ketika pemerintah memilih untuk memberikan kepercayaan kepada institusi-institusi pendidikannya. Ini bisa bermakna perguruan tinggi harus merdeka dari berbagai regulasi dan birokratisasi. Lebih ke bawah lagi, para pendidik dan dosesn dimerdekakan dari birokrasi lembaga perguruan tinggi. Yang terpenting lagi, mahasiswa diberikan kemerdakaan belajar sesuai dengan kepentingannya, kemauannya dan ke-tertarikannya. Perubahan ini tidak mudah tetapi harus dilakukan jika perguruan tinggi ingin tetap relevan dan masih bisa berdampak positif kepada mahasiswa saat mereka lulus kelak. Tidak sedikit mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi kemudian bekerja tetapi tidak sesuai dengan bidang studinya. Artinya apa yang dipelajari dan apa yang program studi (prodi) lakukan itu sering kali tidak sesuai keinginan mahasiswa. Oleh karena itu, sudah waktunya memberikan kemerdekaan belajar kepada mahasiswa untuk mengambil bebagai macam hal di dalam kampus, di luar program studi, di luar fakultas dan di luar kampus. Inilah yang dimaksudkan dengan kemerdekaan mahasiswa.
Sementara itu, paradigma dosen menggurui, dosen memberikan ceramah dan dosen membagi informasi kepada mahasiswa sudah waktunya diubah dengan dosen memfasilitasi pembelajarannya kepada mahasiswa secara independen. Di sinilah letak peran dosen penggerak. Ciri dosen penggerak itu menurut Menteri Nadiem adalah bangga melihat kemampuan mahasiswa melebihi ilmuanya, tidak merasa terancam dengan keunggulan pengetahuan mahasiswanya, dosen lebih banyak belajar dan memberikan pertanyaan kepada mahasiswa daripada ceramah tentang ilmunya. Selain itu, dosen penggerak selalu mencari ilmu baru secara otomatis dan mencari orang-orang yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kelas dan mahasiswanya. Dosen penggerak selalu merekam ceramahnya sebelum belajar dan disiapkan untuk sesi debat, diskusi dan kerja kelompok. Dosen penggerak mengerjakan berbagai proyek di luar kampus dan melibatkan mahasiswanya agar mereka memperoleh pengalaman yang riil. Secara tidak langsung, gambaran ciri ini mengarahkan model pembelajaran ke cara belajar mahasiswa aktif (CBMA). Dosen membuka ruang kepada mahasiswa untuk bebas berkreatifitas dalam karya dan pemikiran sekaligus melatih dan membiasakan mahasiswa untuk mandiri dalam belajar, mengeksplor potensi dirinya dan mengatasi masalahnya.
Gambaran ciri dosen penggerak di atas sejatinya diterapkan dalam kondisi normal ketika Indonesia dan dunia belum dilanda wabah covid’19. Faktanya tidak semua dosen menerapkan hal tersebut dalam proses pembelajarannya. Selain paradigma belajar yang masih tergantung pada aturan institusi pendidikan yang kaku, dosen pun masih terjebak dalam sistem pembelajaran yang menutup ruang kemerdekaan dan kemandirian belajar bagi mahasiswa. Adanya pandemi covid’19 saat ini justru menjadi momentum yang tepat untuk menerapkan apa yang menjadi ciri dosen penggerak tersebut. Semua perguruan tinggi mau tidak mau wajib menerapkan proses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dalam kondisi ini, mahasiswa diharuskan belajar mandiri dari tempat tinggalnya masing-masing. Dosen diharapkan bisa lebih kreatif mendisain metode pembelajarannya untuk mendorong kemandirian dan kreatifitas mahasiswa demi mengeksplor kemampuan dirinya. Model ceramah dan berbagi informasi konvensional dari dosen kepada mahasiswa sebaiknya diubah ke model pembelajaran mahasiswa aktif. Pandemi covid’19 memberikan pelajaran berharga kepada semua unsur pendidikan khususnya di perguruan tinggi untuk menciptakan model pembelajaran yang efektif dan membuka ruang kreatifitas sebesar-besarnya kepada dosen untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya tanpa mengurangi tugas, fungsi dan tanggung jawab dia terhadap institusi perguruan tinggi tersebut.
Menjadi dosen penggerak di masa pandemi ini adalah tantangan yang harus dihadapi oleh perguruan tinggi. Kendala tentu saja ada terutama yang berhubungan dengan kebiasaan belajar mengajar yang sebelumnya dilakukan tatap muka langsung di kelas kini harus dilakukan di ruang maya. Perubahan tradisi dan adaptasi lingkungan belajar ini membutuhkan proses dan kesabaran. Ini karena budaya yang sudah mengakar sulit menerima perubahan yang dianggapnya tidak lebih baik. Kendala lainnya adalah keterbatasan sarana jaringan teknologi informasi. Pembelajaran jarak jauh tak bisa lepas dari ketersediaan fasilitas jaringan teknologi informasi yang memadai. Semua dipaksa beradaptasi dengan lingkungan teknologi informasi tersebut. Suka atau tidak, setiap orang harus membiasakan diri menggunakan fasilitas teknologi informasi untuk menunjang proses pembelajaran jarak jauhnya. Walaupun ada keterbatasannya, itu seyogyanya tidak menjadi alasan untuk mengubah tradisi belajar konvensional ke belajar secara daring. Jika semua unsur perguruan tinggi melakukan perubahan ini dengan kesadaran yang tinggi, peluang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif pun makin terbuka. Dosen, mahasiswa dan seluruh komponen pendukungnya sama-sama menciptakan suasana akademis yang harmonis. Dalam hal ini, dosen memiliki peluang untuk memfasilitasi mahasiswa belajar secara aktif dan mandiri melalui pendalaman keilmuan dan karya-karya inovasi pembelajaran tanpa banyak membuang waktu tatap muka secara daring. Dengan cara ini, perguruan tinggi diharapkan dapat mewujudkan SDM Indonesia yang unggul dan kompetitif sebagaimana visi pemerintah tersebut.